SI=Sistem Istiqomah atau Setengah-setengah Implementasi

29 Januari 2009
Saat ini ada beban pikiran pada diri ini. IT, bidang pekerjaan yang sedang aku tekuni saat ini dan merupakan pekerjaan tetap melihat jabatan fungsional sebagai pranata komputer. Kebetulan saat ini lagi me-maintenance Sistem Informasi Presensi Universitas Jember. Sistem ini merupakan sistem informasi kehadiran seluruh pegawai baik dosen, teknisi, administrasi, pustakawan, pranata komputer dan sebagainya yang berada di Universitas Jember. Seluruh data hadir atau absen pegawai dapat ditampilkan di internet karena memang sifatnya online sehingga dapat diketahui oleh semua pihak yang memiliki kepentingan terkait dengan kepegawaian, juga oleh bagian keuangan terkait dengan uang lauk pauk. Manfaat utamanya adalah memudahkan bagian kepegawaian dalam memantau kehadiran pegawai karena data yang masuk adalah data valid yang langsung terekam dan tersimpan dalam sebuah database (pusat data). Beda dengan presensi manual dimana pegawai dapat memanipulasi datanya, misalnya masuk kerja jam 08.00 di buku presensi ditulis jam 07.00. Oleh karena itu, bagi pegawai yang tidak terbiasa datang tepat waktu maka presensi dengan fingerprint akan terasa amat sangat memberatkan. Mekanisme prosesing datanya adalah setiap pagi pegawai yang masuk kerja di unit kerjanya langsung merekam data di alat fingerprint yang telah disediakan dengan cara menempelkan jari tangannya ke dalam sensor pada alat rekam tersebut. Hal demikian diulanginya lagi ketika sang pegawai akan pulang kerja. Data yang telah terekam akan disimpan di dalam fingerprint dan akan ditransfer ke database pusat di UPT Teknologi Informasi jika dan hanya jika data tersebut di-download dan di-upload oleh seorang operator. Biasanya operatornya adalah petugas dari bagian kepegawaian pada masing-masing unit kerja di Universitas Jember. Lantas, apa hubungannya dengan judul di atas? Korelasinya adalah sistem yang sudah terlanjur dibuat dan telah dilaunching oleh PR II tengah tahun lalu ternyata saat ini sudah mulai dilupakan. Dilupakan oleh hampir seluruh civitas akademika di universitas negeri terbesar di ujung timur pulau Jawa ini. Kami, sebagai pembuat sistem dan kebetulan ditugasi untuk me-memaintenance sistem ini dibuat bingung juga. Betapa tidak, setiap kali usaha untuk mengaktifkan program ini banyak sekali kendalanya. Ada perasaan kurang dihargai dan kurang puas apabila sistem yang sudah dibuat ternyata di tengah jalan sepertinya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perasaan yang sama ternyata dialami oleh kawan-kawan Programmer lainnya. Sebenarnya hanya satu jawaban dari ketidakpuasaan ini, yaitu program yang telah dibuat dengan uang negara yang notabene adalah uang rakyat dapat diaplikasikan dengan maksimal dan sepenuh hati.  Dari tingkat operator fakultas, ternyata banyak sekali yang apatis terhadap sistem informasi ini. Jangankan membuat laporan dengan print-out, mendownload dan meng-upload data saja mereka sudah malas. Belum lagi kalau ada trouble di alat, semakin besar alasan untuk mengimplementasikannya. Juga sikap fakultas yang tidak melakukan pengecekan terhadap kehadiran pegawai melalui sistem ini baik kepada operator fakultasnya maupun kepegawaian pusat. Buktinya, sampai detik ini, para stake holder di level fakultas tidak ada yang mencoba menanyakan bagaimana progress report sistem ini. Ada contoh di sebuah fakultas di mana tak seorang pun karyawan baik bagian kepegawaian maupun lainnya yang bersedia ditugasi sebagai operator Presensi. Sehingga data di webnya Presensi pada fakultasnya kosong dan terisi bila saja ada petugas dari Pusat yang mengunjungi Fakultas tadi. Dan sudah hampir satu tahun berjalan belum ada solusi mengenai siapa akhirnya yang ditugaskan menjadi operator di fakultas tersebut. Lalu, apa akan terus diam, bila tak seorang pun mau menjadi operator. Ini salah satu bukti bahwa fakultas masih setengah hati untuk melaksanakan edaran PR II tersebut. Hal ini belum ditambah dengan sikap fakultas lainnya yang lebih apatis lagi. Pertanyaan tunggal yang mungkin bisa menjadi solusi dan dapat mengurangi beban pikiran ini adalah apakah sistem ini akan diteruskan atau tidak? Semoga saja segera terjawab. 

Fenomena Walk-Out (WO)

20 Januari 2009

Terilhami oleh sebuah kejadian menarik dari sebuah perjalanan organisasi mengusik pikiran untuk mencoba memberikan coretan kecil.

Pada sebuah Musyawarah , Rapat Organisasi , DPR/DPRD , dll di era DEMOKRASI ini bisa dikatakan semua peserta mempunyai kebebasan seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan apa yang menjadi pemikirannya.


Cara menyampaikan pendapatnyapun sangat beragam , ada yang kalem , bersemangat bahkan ada yang disampaikan secara menggebu-gebu cenderung emosional , namun tentu saja harus tetap dalam koridor etika.

Didalam era kebebasan berpendapat inilah sebenarnya parameter ataupun tolak ukur bagi para peserta musyawarah , sampai sejauh mana tingkat ego dan kedewasaan berpikir dari para peserta…… sejauh mana mereka bisa memberi dan menerima dan sejauh mana pemahaman mereka atas demokrasi itu sendiri dan seberapa tinggi kadar intelektualitasnya.

Lazimnya , didalam sebuah musyawarah tentu akan menghasilkan kesepakatan atau keputusan , selain ada keputusan akhir / keseluruhan , ada keputusan bab demi bab atau bagian demi bagian dimintakan kesepakatan dari para peserta musyawarah , yang apabila sudah disepakati oleh peserta maka Pimpinan sidang / musyawarah akan mengetokkan palu tanda bab / bagian yg dibicarakan sudah disepakati.

Sebelum tercapai kesepakatan , para peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat , tentu saja pendapat yang dilandasi argumen maupun patokan-patokan yang sudah ditentukan , sehingga pendapat-pendapat yang muncul tidak ASBUN alias asal bunyi . Pada tataran adu argumen inilah berbagai ekspresi seperti tenang, bersemangat, emosional dsb…dsb akan timbul.

Kesepakatan / keputusan terbaik adalah apabila dicapai karena semua peserta sepaham alias mufakat ……. Namun apabila mufakat tidak tercapai karena masing-masing mempertahankan pendapatnya , tidak ada yang mau mengalah , maka keputusan diambil dengan suara terbanyak ……….yang kalah didalam perolehan / pengambilan suara mestinya harus legowo menerima kenyataan , betapapun terasa sangat getir……….

Disinilah kadar pemahaman tentang Demokrasi dan kebesaran jiwa dari peserta musyawarah teruji , apakah peserta mempunyai wawasan yang luas sehingga bisa dengan bijak menerima kenyataan atau wawasannya sempit dan berjiwa kerdil , sehingga sulit untuk menerima kenyataan sehingga semangat yang ada hanya semangat “pokoknya harus begini”.

Fenomena WO (Walk Out)

Didalam sebuah Musyawarah di era demokrasi , berbagai situasi dan suasana seperti : tenang dan adem ayem saja , hangat , panas , emosional bahkan cenderung debat kusir bisa saja terjadi dan itu sah-sah saja.
Apabila peserta atau kelompok peserta merasa pendapatnya tidak mendapat dukungan oleh kelompok yang lain bahkan kalah ketika keputusan harus diambil melalui voting dengan suara terbanyak , sementara didalam hatinya sudah tertanam atau “ditanamkan” oleh pihak tertentu “pokoknya harus begini”, ditambah lagi dengan emosi yang mengharu biru sehingga tidak bisa perpikir dengan logika yang jernih , lahirlah apa yang disebut dengan WO (Walk Out) alias mereka memilih keluar meninggalkan tempat / ruang sidang atau musyawarah dan tidak lagi mengikuti proses apa yang terjadi selanjutnya pada musyawarah tsb.

Apabila sebagian besar peserta musyawarah melakukan WO sehingga forum musyawarah tersebut tidak kuorum lagi maka musyawarah tersebut tidak bisa diteruskan alias gagal / batal / tidak sah dan harus di ulangi lagi…….., namun ketika hanya sebagian kecil saja yang melakukan WO sehingga masih kuorum , musyawarah masih tetap sah dan bisa dilanjutkan …….., 

Bila hal kedua (masih kuorum) yang terjadi maka merupakan KERUGIAN BESAR bagi yg melakukan WO , karena selain sudah tertutup perjuangan untuk memasukkan pendapatnya yang lain / berikutnya , juga akan mendapatkan penilaian sosial tersendiri dari warga komunitas………, dan beban ini adalah beban psikologis yg tidak ringan , bahkan kalau yg melakukan WO tsb tetap tidak bisa mengendalikan emosinya kemudian membuat reaksi berantai, maka biasanya hanya akan menimbulkan perpecahan didalam tubuh komunitas …… karenanya sangat tidak tidak dianjurkan untuk menggunakan “budaya walk out”.

Manajemen Forum

19 Januari 2009
Dalam suatu forum diskusi atau seminar atau mungkin musyawarah daerah, dikenal istilah manajemen forum. Apa itu? Manajemen forum adalah suatu bentuk pengaturan situasi atau keadaan peserta maupun bahan diskusi di dalam forum rapat atau musyawarah. Suatu 'tujuan' terkadang dapat tercapai bahkan seringkali terealisasi melalui manajemen forum ini. Seberapa penting dilakukan? Strategi perjuangan sebuah organisasi banyak sekali caranya dalam upaya mengegolkan suatu tujuannya dalam permusyawaratan. Ada pembentukan opini, manajemen konflik, ada opini publik, juga ada manajemen forum. Bagaimana suatu forum dikondisikan sedemikian serupa sehingga terbentuk kondisi atau situasi yang dapat memudahkan sekelompok orang atau suatu organisasi dapat tercapai tujuan yang diinginkan. Langkah-langkahnya dapat berupa main gertak, main pukul meja atau lempar kursi, hal itu kalau cara yang kasar. Ada pula cara yang lembut seperti dengan memberikan pernyataan yang bertele-tele, atau memainkan waktu diskusi. Dan seringkali terjadi adalah adu debat hanya untuk sebuah manajemen forum. Lantas, apa gunanya manajemen forum? Banyak! Dan penting untuk dicoba. Untuk memberikan penekanan suatu titik permasalahan atau hal yang ingin disampaikan. Misalnya tentang Kriteria seorang Ketua. Di situ disampaikan secara berulang-ulang walau materi penyampaiannya terkadang dibuat melebar atau potong permasalahan yang kemudian kembali difokuskan lagi. Yang intinya kriteria versinya dapat diakomodir dalam suatu forum diskusi atau permusyawaratan. 

Selamat Tahun Baru Islam 1430 Hijriyah

05 Januari 2009
Wuihhh, lega rasanya dapat melalui pergantian tahun dengan mulus. Pertama, Tahun Baru Islam 1430 Hijriyah dimana kita mengadakan Pengajian Umum dengan mengundang Prof.Dr. Syafig Mughni, MA (Ketua PWM Jatim) di Masjid Mujahidin Wuluhan. Trus, pada 31 Desember 2008 aku dapat pulang lebih cepat dari tempat kerja sehingga pas 1 Januari 2009 bisa berkumpul dengan keluarga. Ceritanya mungkin jadi lain kalau saja masih ada kampus. Bisa-bisa tahun baruan di tempat kerja. Alhamdulillah persis jam 21.15 WIB kita bertiga (karena kita tim) dapat pulang karena telah selesai yang kukerjakan.