Perilaku Pendiam sebagai salah satu pemicu Kenakalan Remaja
01 Juni 2009Semoga Alloh masih memberikan jalan pintu taubat dan hidayah sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada salah satu hamba-Nya.
Anak remaja merupakan anak manusia yang sedang mengalami proses transformasi diri dari anak-anak menuju sebutan manusia dewasa. Usia remaja berkisar antara 15 - 21 tahun bial berkaca pada ilmu sosiologi tentunya. Tipikal remaja sangat rentan dengan perilaku menyimpang sehingga seringkali dikaitkan masa depan seseorang dilihat dari bagaimana masa remaja yang dilaluinya. Apakah selamat si anak melewati fase remaja ataukah tidak. Faktor pendidikan lagi-lagi memegang peranan signifikan dalam pembentukan watak dan perilaku mereka. Baik itu pendidikan formal maupun pendidikan informal. Pendidikan formal tentu saja berasal dari pendidikan sekolahnya termasuk disini ilmu agamanya. Sedangkan pendidikan informal berupa bimbingan dan pendampingan orang tua atau keluarga termasuk lingkungan masyarakat di sekitarnya. Lingkungan sekitar disini bisa berarti keluarga dan tetangga kanan kiri atau juga berarti media yang hari ini gencar memberikan info-info global dan cenderung bebas.
Keberadaan televisi jelas perlu digarisbawahi pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Belum lagi kemudahan penggunaan internet yang sekarang bisa diakses lewat handphone dan sudah hampir masuk di semua pedesaan di Indonesia.
Tipikal anak remaja pendiam pun belum menjadi jaminan bahwa si anak akan menjadi anak yang baik. Ternyata istilah pendiam justru mengundang sejuta tanda tanya sebab ada fakta bahwa anak remaja yang memiliki sifat pendiam memiliki potensi luar biasa untuk menjadi liar atau tidak terkendali atau tidak terkontrol. Mengapa? Mereka umumnya cenderung mengikuti nasehat atau perintah namun memendam rasa dan keinginan. Teori fisika tentang pegas yang menyatakan bahwa semakin benda ditekan, benda akan semakin keras terlontar dapat diadopsi dalam implementasinya.
(bersambung)
Lihat http://bandung.detik.com/read/2009/06/18/104902/1149911/486/remaja-pendiam-bukan-jaminan-aman
Teknik Komunikasi, Bagian Manajemen Organisasi sebagai Kunci Eksistensi Gerakan
20 Februari 2009Semoga dapat menjadi pencerahan buat kita semua.
Deritamu, Deritaku, ... Derita Kita Bersama
11 Februari 2009Alloh Engkau Dekat
Penuh Kasih Sayang
Takkan Pernah Engkau Biarkan
HambaMU Menangis
Karna KemurahanMU
Karena Kasih SayangMu
Hanya Bila DiriMu
Ingin Nyatakan Cinta
Pada Jiwa-jiwa
Yang Rela Dia Kekasihmu
Kau yang Slalu Terjaga
yang Memberi segala
Alloh Rohman, Alloh Rohim
Allohu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Alloh Rohman, Alloh Rohim
Allohu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Disetiap Nafas Disegala Waktu
Semua Bersujud Memuji Memuja AsmaMu
Kau yang slalu Terjaga
Yang Memberi Segala…
Alloh Rohman, Alloh Rohim
Allohu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Alloh Rohman, Alloh Rohim
Allohu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Setiap Makhluk Bergantung PadaMu
dan Bersujud Semesta UntukMu
Setiap Wajah Mendamba CintaMu Cahyamu
Alloh Rohman, Alloh Rohim
Allohu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Alloh Rohman, Alloh Rohim
Allohu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Ya Alloh Ya Romah Ya Alloh 3x
Ya… Alloh
Koleksi Opick yang lain.
Download mp3 & lirik lagu Opick Cahaya Hati
Free Download MP3
SI=Sistem Istiqomah atau Setengah-setengah Implementasi
29 Januari 2009Fenomena Walk-Out (WO)
20 Januari 2009Terilhami oleh sebuah kejadian menarik dari sebuah perjalanan organisasi mengusik pikiran untuk mencoba memberikan coretan kecil.
Pada sebuah Musyawarah , Rapat Organisasi , DPR/DPRD , dll di era DEMOKRASI ini bisa dikatakan semua peserta mempunyai kebebasan seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan apa yang menjadi pemikirannya.
Cara menyampaikan pendapatnyapun sangat beragam , ada yang kalem , bersemangat bahkan ada yang disampaikan secara menggebu-gebu cenderung emosional , namun tentu saja harus tetap dalam koridor etika.
Didalam era kebebasan berpendapat inilah sebenarnya parameter ataupun tolak ukur bagi para peserta musyawarah , sampai sejauh mana tingkat ego dan kedewasaan berpikir dari para peserta…… sejauh mana mereka bisa memberi dan menerima dan sejauh mana pemahaman mereka atas demokrasi itu sendiri dan seberapa tinggi kadar intelektualitasnya.
Lazimnya , didalam sebuah musyawarah tentu akan menghasilkan kesepakatan atau keputusan , selain ada keputusan akhir / keseluruhan , ada keputusan bab demi bab atau bagian demi bagian dimintakan kesepakatan dari para peserta musyawarah , yang apabila sudah disepakati oleh peserta maka Pimpinan sidang / musyawarah akan mengetokkan palu tanda bab / bagian yg dibicarakan sudah disepakati.
Sebelum tercapai kesepakatan , para peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat , tentu saja pendapat yang dilandasi argumen maupun patokan-patokan yang sudah ditentukan , sehingga pendapat-pendapat yang muncul tidak ASBUN alias asal bunyi . Pada tataran adu argumen inilah berbagai ekspresi seperti tenang, bersemangat, emosional dsb…dsb akan timbul.
Kesepakatan / keputusan terbaik adalah apabila dicapai karena semua peserta sepaham alias mufakat ……. Namun apabila mufakat tidak tercapai karena masing-masing mempertahankan pendapatnya , tidak ada yang mau mengalah , maka keputusan diambil dengan suara terbanyak ……….yang kalah didalam perolehan / pengambilan suara mestinya harus legowo menerima kenyataan , betapapun terasa sangat getir……….
Disinilah kadar pemahaman tentang Demokrasi dan kebesaran jiwa dari peserta musyawarah teruji , apakah peserta mempunyai wawasan yang luas sehingga bisa dengan bijak menerima kenyataan atau wawasannya sempit dan berjiwa kerdil , sehingga sulit untuk menerima kenyataan sehingga semangat yang ada hanya semangat “pokoknya harus begini”.
Fenomena WO (Walk Out)
Didalam sebuah Musyawarah di era demokrasi , berbagai situasi dan suasana seperti : tenang dan adem ayem saja , hangat , panas , emosional bahkan cenderung debat kusir bisa saja terjadi dan itu sah-sah saja.
Apabila peserta atau kelompok peserta merasa pendapatnya tidak mendapat dukungan oleh kelompok yang lain bahkan kalah ketika keputusan harus diambil melalui voting dengan suara terbanyak , sementara didalam hatinya sudah tertanam atau “ditanamkan” oleh pihak tertentu “pokoknya harus begini”, ditambah lagi dengan emosi yang mengharu biru sehingga tidak bisa perpikir dengan logika yang jernih , lahirlah apa yang disebut dengan WO (Walk Out) alias mereka memilih keluar meninggalkan tempat / ruang sidang atau musyawarah dan tidak lagi mengikuti proses apa yang terjadi selanjutnya pada musyawarah tsb.
Apabila sebagian besar peserta musyawarah melakukan WO sehingga forum musyawarah tersebut tidak kuorum lagi maka musyawarah tersebut tidak bisa diteruskan alias gagal / batal / tidak sah dan harus di ulangi lagi…….., namun ketika hanya sebagian kecil saja yang melakukan WO sehingga masih kuorum , musyawarah masih tetap sah dan bisa dilanjutkan ……..,
Bila hal kedua (masih kuorum) yang terjadi maka merupakan KERUGIAN BESAR bagi yg melakukan WO , karena selain sudah tertutup perjuangan untuk memasukkan pendapatnya yang lain / berikutnya , juga akan mendapatkan penilaian sosial tersendiri dari warga komunitas………, dan beban ini adalah beban psikologis yg tidak ringan , bahkan kalau yg melakukan WO tsb tetap tidak bisa mengendalikan emosinya kemudian membuat reaksi berantai, maka biasanya hanya akan menimbulkan perpecahan didalam tubuh komunitas …… karenanya sangat tidak tidak dianjurkan untuk menggunakan “budaya walk out”.